Selamat datang di blog bisnis. Anda perlu modal usaha, kami siap membantu.

Sabtu, 18 September 2010

Merubah nasib dengan membangun pasar tradisional

Sekarang tempat ini telah menjadi ramai oleh orang-orang yang sedang mengadu nasib dan  merubah nasibku dari kurang menjadi cukup. Ratusan pedagang yang menyewa toko, kios dan lapak, ratusan pembeli setiap pagi berjubel di pasar tradisional ini.
     Tempat ini yang semula tanah kosong , tanah yang kurang laku dijual karena dianggap angker dan harganya terlalu mahal, kini atas Kehendak Tuhan telah berubah menjadi pasar tradisional dan harga tanahnya pun melonjak beberapa kali lipat.
     Kalau ingat waktu itu, 5 tahun yang lalu, saya suka geli sendiri. Apakah saya sudah gila? Saya belum berbicara dan mengetahui apa yang ada di benak pemiliknya dan belum menemukan seorang pun yang siap mendukung gagasan saya untuk membangun pasar tradisional di situ, tapi waktu itu saya merasa bahwa saya memang benar-benar akan membangun pasar tradisional. Oleh sebab itu saya lalu bawa anak saya yang baru berusia 12 tahun untuk membantu saya mengukur tanah itu. Saya ajak anak karena saya tak punya uang untuk membayar orang. Jangankan membayar orang, untk merokok pun saya sulit.
     Walaupun latar belakang pendidikan saya di bidang bangunan, waktu itu pekerjaan saya hanyalah mencuci piring, membantu istri saya berjualan nasi di kantin sekolah. Penghasilan dari situ selalu habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai hidup juga sekolah anak-anak. Sepertinya tak mungkin saya bisa membangun pasar tradisional sebesar apa pun keinginan saya untuk merubah nasib.Perlu modal besar dan kami amat miskin, dan semua ini mungkin yang menjadi penyebab orang-orang selalu meragukan, bahkan mungkin sama sekali tidak mempercayai bahwa saya mampu merubah gagasan saya menjadi suatu wujud yang nyata; pasar tradisional.
     Ketika saya dan anak sedang mengukur lokasi yang hendak saya jadikan pasar tradisional itu seorang penduduk bernama pak Eman, yang sempat sebelum meninggal dunia menjadi satpam di pasar ini, menghapiri dan bertanya:
     "Mulai diukur, pak, mau dibangun?"
     "Iya," sahut saya. Sementara dalam pikiran saya berkata 'kalau pun bukan saya, pasti ada orang lain yang akan membangunnya. Tanah ini tak mungkin akan terus dibiarkan kosong oleh pemiliknya.'
     "Mau dibangun apa, pak?" tanyanya lagi.
     "Pasar," sahutku.
     "Oo!"
     Apa yang saya katakan waktu itu, membangun pasar, hanyalah gagasan atau impian. Namun hal itu sekarang sudah menjadi nyata. Padahal saat itu saya belum berbicara dengan pemilik tanah, belum tahu apakah beliau setuju jika tanah kosong itu dijadikan pasar. Yang bergolak dalam diri saya waktu itu adalah keinginan yang kuat untuk merubah nasib dan keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa lokasi itu akan menjadi pasar.
-0-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar